Hidup Realistis Keluarga Harmonis

Hidup Realistis Keluarga Harmonis

“Sebaik-baik kalian adalah yang berbuat baik kepada keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR Tirmidzi)

Bahtera rumah tangga dapat goyah bukan hanya karena terpaan badai besar. Ia pun bisa goyah tersebab gelombang-gelombang kecil yang tidak terkendali. Bagi Hamdi dan Suci yang belum lama berumah tangga, itu terasa sekali. Ada unek-unek mengganjal di hati yang kemudian mengotori komunikasi dan interaksi suami-istri.

Beberapa kali perselisihan terjadi hanya karena hal sederhana. Suci lupa menutup kembali pasta gigi, dan lupa menyimpan sikat gigi ke tempatnya semula. Saat Hamdi mengetahui itu, ia gemes bukan main. Apa sulitnya, sih, merapikan dan menyimpan ke tempat semula? Gumamnya dalam batin.

“Dik, kalau habis pakai sikat dan pasta gigi, jangan lupa kembalikan ke tempat semula. Mudah, kan?” Hamdi mencoba menyampaikan unek-unek hati ke istrinya. Dengan harapan istrinya mengerti apa yang seharusnya ia lakukan,

“Iya, Mas ….” Respons Suci dengan sedikit kesal, merasa disalahkan hanya karena perkara kecil. Mungkin karena kebiasaan dulu yang kurang perhatian pada hal seperti itu, banyak hal sederhana yang menjadi bahan komentar suaminya.

“Tolong dong, Mas, jangan hanya karena hal kecil seperti ini membuat kita jadi emosi. Memang tidak ada kerjaan lain?” Tambah Suci penuh emosi. Baginya, Hamdi adalah orang perfeksionis, segalanya harus serba sempurna. Sesuatu yang belum terbiasa dan berat bagi Suci.

Hamdi adalah tipe orang yang menyukai kebersihan dan kerapihan. Dia mudah geregetan kalau melihat sesuatu yang berantakan. Itu pula standar yang ingin ia bangun dalam rumah tangga. Ia merasa harus memberikan edukasi dan pembiasaan pada istrinya agar tidak terulang kejadian serupa.

Sebetulnya Suci pun orang yang suka dengan kebersihan dan kerapihan. Hanya terkadang kurang ketelitian sehingga ada yang terlewatkan. Sebagai seorang istri yang baik, ia berusaha menjadi pasangan yang menyenangkan suami. Pribadi yang pandai melayani dan mengurus rumah tangga dengan teliti. Walaupun realitasnya masih saja ada yang terlewat dan belum selesai juga.

Apalagi setelah hadirnya beberapa buah hati. Tanggung jawab domestik Suci bertambah lagi. Waktu yang Suci miliki bukan hanya melayani suami dan mengurus rumah, tetapi juga untuk merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak. Akibatnya, sering kali kebersihan dan kerapihan di rumah kurang terperhatikan. Walaupun ia sadar mungkin akan jadi bahan ocehan suaminya lagi.

“Hidup berkeluarga itu ada seninya,” tutur pak Kiai saat pengajian mingguan yang Hamdi ikuti, “bukan semata terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pasangan.” Tambah beliau melengkapi. Hamdi benar-benar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengisi nutrisi jiwa dan bertanya banyak hal kepada pak Kiai.

“Seperti apa seninya itu, pak Kiai?” Tanya Hamdi penasaran.

“Seni berkeluarga adalah memaklumi segala kekhasan dan kekurangan yang ada pada pasangan. Pemakluman ini yang kemudian akan menumbuhkan empati dan kasih sayang dalam menjalani kehidupan rumah tangga.” Pungkas pak Kiai dengan lugas.

Bagai mendapat oase di padang gersang, nasihat pak Kiai begitu berkesan dan menyadarkan Hamdi. Selama ini ia selalu menuntut kondisi rumah yang ideal pada istrinya. Komunikasi dan interaksi sering kali tidak harmonis hanya karena hal-hal sederhana yang dianggap penting olehnya. Kini Hamdi sadar, bahwa apa yang dia lakukan bukan cara yang tepat untuk menjaga keharmonisan keluarga.

Hamdi kini tidak lagi mengomentari sesuatu yang mungkin belum ideal di rumah. Misalnya kebersihan rumah, mainan anak yang masih berantakan, pakaian kotor yang masih menumpuk, dan lain sebagainya. Ia mendahulukan sikap memaklumi kondisi yang ada dan berbaik sangka pada istrinya. Kemudian ia mengambil langkah pasti dengan melakukannya sendiri. Tanpa harus berkomentar dan menuntut istri yang melakukannya.

Alhamdulillah, setelah Hamdi dan Suci menerapkan nasihat itu, kebersamaan dalam keluarga semakin harmonis. Satu sama lain sudah memahami peran dan kondisi masing-masing. Sehingga hal-hal sepele tidak lagi menjadi pemicu perselisihan dalam keluarga.

***

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) realistis diartikan sebagai sesuatu hal yang bersifat nyata (real); dan hal tersebut bersifat wajar. Adapun hidup realistis dapat didefinisikan sebagai pandangan seseorang yang mengarah pada suatu fakta yang hadir dalam kehidupan nyata. Sehingga ia tidak memaksakan suatu kehendak tertentu dan selalu berusaha untuk memahami kondisi yang sebenarnya.

Sebagai kebalikan dari hidup idealis, hidup realistis adalah hidup yang memandang sesuatu secara wajar, tanpa menuntut dan memperturutkan standar yang ideal. Dengan tujuan untuk meraih kemaslahatan dan kebaikan yang diharapkan.

Sementara keluarga harmonis adalah keluarga yang selaras, serasi dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Suami dan istri hidup rukun sauyunan, saling bantu satu sama lain. Keluarga harmonis bukan berarti keluarga tanpa masalah. Mereka juga memiliki masalah, tetapi mereka mengahadapi dan menyelesaikannya bersama-sama. Mereka saling mengokohkan dan menguatkan pegangan tangan.

Keluarga harmonis adalah dambaan setiap pasangan. Keberadaannya sangat penting untuk kekuatan dan keutuhan keluarga. Karena banyak masalah dalam keluarga bermula dari perselisihan yang menyulut emosi. Sehingga kemunikasi menjadi tidak sehat, saling mencurigai, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Pernikahan adalah akad suci dan sakral yang menyatukan dua insan untuk tujuan yang sama. Keduanya memiliki latar belakang, budaya, dan kebiasaan yang mungkin berbeda. Sehingga pada awal penyesuaian sangat mungkin terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan gelombang dan menggoyahkan bahtera rumah tangga.

Misalnya dalam cara berkomunikasi, cara menyampaikan saran dan masukan pada pasangan. Ketika keduanya belum memahami karakter masing-masing, ada kemungkinan sulit mengetahui mana yang baik dan tepat untuk disampaikan, sehingga yang terjadi asal bunyi saja tanpa mempertimbangkan pengaruh setelahnya.

Belum lagi dengan kebiasaan yang menjadi bawaan masing-masing. Sesuatu yang dianggap biasa saja di lingkungan keluarga suami, belum tentu sama di lingkungan keluarga istri. Bahkan bisa jadi dianggap kurang sopan jika melakukannya. Seperti dalam penggunaan diksi tertentu, penilaian terhadap suatu hal, dan sebagainya.

Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak menjadi penghalang untuk terwujudnya keharmonisan keluarga. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihindarkan. Tugas kita menjadikannya sebagai kekuatan untuk meraih impian bersama. Suami dan istri hendaknya saling menghormati dan memuliakan. Tidak menjadikan keragaman sebagai pemicu keretakan.

Keluarga harmonis merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. Sekalipun butuh biaya, pikiran dan energi yang yang tidak sedikit untuk mempelajari dan mempraktikkannya. Karena keluarga adalah tempat yang mestinya menghadirkan ketenangan dan kenyamanan. Tempat berlabuhnya jiwa yang lelah setelah sekian lama menjemput nafkah di luar rumah. Oleh karena itu, mengupayakannya bukan lagi sebuah pilihan, tetapi sebuah kebutuhan.

Biasanya, kita lebih terbiasa menanti dari pada memenuhi hak pasangan. Menanti pelayanan, perhatian, tuntas pekerjaan rumah, dan lain sebagainya. Sementara kita sering lupa memastikan kewajiban sudah terlaksana dengan sempurna. Akibatnya, alih-alih mendapatkan

sambutan hangat, yang ada adalah hujatan dan cemoohan. Tak ayal lagi, keharmonisan mulai tergoyahkan.

Agar hal itu tidak terjadi, hendaknya kita lebih dahulu memenuhi kewajiban kita sendiri. Contoh paling sederhana, daripada menuntut istri tampil cantik dan wangi, lebih baik memenuhi nafkahnya terlebih dahulu agar ia bisa membeli alat perawatan diri. Sebagai mana juga suami yang menawarkan bantuan untuk menjemurkan pakaian, tentu lebih istri sukai daripada yang membiarkan istrinya mengerjakan sendirian.

Sebelum menikah, mungkin kita mengira pasangan akan sangat romantis, perhatian, dan pandai memasak. Atau mungkin kita mengharap nanti akan ada yang rajin membangunkan untuk tahajud dan mengingatkan tilawah Al-Quran, serta berbagai dugaan positif lainnya. Sementara faktanya, semua itu baru sebatas harapan, belum menjadi kenyataan yang ada pada pasangan kita. Bahkan mungkin kita menemukan kenyataan pasangan yang belum tuntas membantu kita mengerjakan urusan rumah tangga. Seperti kebersihan dan kerapihan rumah, tersedianya hidangan makanan, dan berbagai urusan lainnya.

Jika memperturutkan idealisme, mungkin kita lebih mudah untuk mengumbar kata-kata dan amarah pada pasangan. Namun, tindakan itu bukan solusi. Langkah yang tepat adalah dengan memaklumi kondisi yang ada, kondisi rumah yang belum rapi dan bersih, juga hidangan makanan yang belum tersaji. Lebih utama lagi berbaik sangka. Karena bisa jadi kondisi pasangan kita belum bisa melakukan semuanya.

Sikap memaklumi bukan berarti membiarkan kondisi demikian menjadi kebiasaan. Namun sebuah sikap pengendalian diri untuk tidak mempermasalahkan realitas yang ada. Agar kondisi tidak ideal tersebut tidak memicu benih-benih kericuhan pasangan. Dalam kondisi ideal, tentu keduanya sepakat dan berkomitmen untuk menuntaskan berbagai urusan rumah tangga dengan segera.

Untuk menguatkan semua itu, kita dan pasangan hendaknya memiliki komitmen untuk berbagi peran dalam menjalani bahtera rumah tangga. Apa yang menjadi kewajiban masing-masing dalam rumah tangga? Apa pula yang menjadi kontribusi keduanya di tengah-tengah warga? Walaupun dalam implementasinya tetap berpadu saling membantu agar tidak ada kewajiban rumah tangga yang terabaikan.

Sejatinya, dalam membina rumah tangga tidak hanya mengupayakan keharmonisan saja. Namun ada yang lebih penting untuk menjadi perhatian dan fokus bersama, yaitu mewujudkan impian dan target keluarga. Sesuatu yang lebih penting dari sekadar sikat dan pasta gigi yang belum kembali pada tempatnya. Seperti upaya penguatan ekonomi keluarga, pendidikan anak, penguatan ilmu dan spiritual, juga peran serta keluarga dalam kebaikan di tengah-tengah masyarakat.

Jendela inspirasi:

  1. Komunikasi yang baik adalah kunci penting dalam mewujudkan keluarga yang harmonis.
  2. Kita harus siap menerima perbedaan dengan terbuka karena setiap orang memiliki karakter dan pandangan yang berbeda-beda.
  3. Setiap anggota keluarga memiliki waktu dan energi yang terbatas. Oleh karena itu, penting untuk mengelola ekspektasi dan tidak terlalu membebani mereka.

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *