Dunia pendidikan kembali digemparkan dengan kejadian yang sangat memilukan. Seorang guru di sebuah pondok pesantren di Palangkaraya terbunuh di tangan peserta didiknya sendiri. Sang guru meninggal dengan beberapa luka tusukan di kepala dan dada. Peristiwa tersebut terjadi pada malam hari di rumah kediaman sang guru saat ia terlelap tidur.[1]
Berdasarkan hasil penyelidikan, penyebab pembunuhan yakni pelaku merasa dendam sering dihukum oleh guru tersebut. Sehari sebelum peristiwa terjadi, pelaku kembali melakukan pelanggaran kemudian dihukum menyalin dua juz Al-Quran oleh gurunya. Entah pikiran apa yang berkecamuk dan merasuki hatinya, sehingga ia berniat untuk menghabisi nyawa gurunya.
Ironisnya, kejadian tersebut terjadi di lembaga pendidikan Islam yang notabene lebih banyak bersentuhan dengan nilai-nilai adab dan spiritual. Sebuah lingkungan yang dinilai lebih kondusif untuk proses pendidikan dan pembinaan, baik secara keilmuan maupun akhlak. Apakah sanksi yang diberikan sang guru berlebihan sehingga menimbulkan feedback yang di luar dugaan? Apa pun itu, kita tidak berharap hal itu terulang kembali di lembaga pendidikan mana pun.
Sanksi Sebagai Salah Satu Instrumen Pendidikan
Terlepas dari peristiwa di atas, pendidikan merupakan perjalanan panjang dalam membentuk kepribadian seseorang. Prosesnya tidak instan dan bahkan sering kali harus melewati onak dan duri. Baik bagi sang guru maupun peserta didiknya. Untuk melahirkan kesungguhan dalam belajar, kaidah reward and punishment masih dibutuhkan. Eksistensi keduanya menjadi alat dalam membentuk pribadi peserta didik sebagaimana yang diharapkan.
Menurut Suharsimi Arikunto reward merupakan suatu yang disenangi dan digemari oleh anak-anak yang diberikan kepada siapa yang dapat memenuhi harapan yakni mencapai tujuan yang ditentukan atau bahkan melebihinya.[2] Sementara punishment adalah proses yang memperlemah atau menekan perilaku. Sehingga sebuah perilaku yang diikuti dengan punishment cenderung akan melemah dan tidak akan diulangi lagi oleh peserta didik.[3]
Kendati sanksi sering kali dibutuhkan, tetapi pelaksanaannya harus tetap proporsional dan tidak berlebihan. Jangan sampai sanksi yang diberikan keluar dari kewajaran dan tujuan pendidikan. Sehingga sanksi tidak lagi bersifat mendidik, tetapi luapan emosi dan kekesalan pendidik. Jika demikian, sanksi yang diberikan biasanya tidak lagi objektif sesuai dengan kadar pelanggaran, bahkan tidak lagi relevan dengan kesalahan yang dilakukan.
Sabar dalam Mendalami Akar Masalah
Sanksi yang proporsional lahir dari pendalaman masalah yang dialami peserta didik. Penting bagi guru untuk mendalami akar masalah masing-masing peserta didik secara terpisah. Karena walaupun jenis kesalahannya sama, bisa jadi sebab dan latar masalahnya berbeda. Dengan pendekatan seperti itu, guru diharapkan lebih mengetahui sebab pelanggaran, sehingga tepat dan bijak dalam memberikan sanksi kepada peserta didiknya.
Lain halnya apabila kesalahan peserta didik tidak didalami secara utuh. Guru sangat mungkin mengambil keputusan tanpa mengetahui informasi yang menyeluruh. Sehingga ia memberikan sanksi tanpa mempertimbangkan latar masalah yang dilakukan peserta didik. Dalam kadar tertentu, ada kalanya sanksi yang diberikan kepada peserta didik lebih dominan karena pelampiasan kekesalan akibat habisnya kesabaran dalam proses pendidikan.
Jika demikian, alih-alih peserta didik semakin baik dan menyadari kesalahan, yang ada justru rasa kesal dan tidak menerima atas sanksi yang diberikan kepadanya. Ia akan semakin memberontak dan melakukan hal-hal yang lebih berbahaya dari sebelumnya. Kondisi jiwa yang penuh amarah dan kekesalan lebih mudah dikendalikan setan untuk merencanakan dan melakukan pembalasan yang dianggap dapat memuaskan dirinya.
Bijak dalam Bertindak, Empati dalam Memberi Sanksi
Sudah menjadi keniscayaan dalam proses pendidikan, bahwa tidak semua peserta didik memiliki kemampuan dan progres yang sama. Mereka berasal dari latar belakang, adat dan kebiasaan, serta kemampuan yang berbeda-beda. Dengan demikian, sangat mungkin akan ditemukan dalam proses pendidikan sebuah perilaku peserta didik yang mengecewakan, atau mereka melakukan kesalahan dan pelanggaran.
Sebagai guru yang arif, semestinya kita dapat mendudukkan permasalahan dan kesalahan peserta didik dengan bijaksana. Kita memanggil dan memandangnya dengan penuh kasih sayang, layaknya seorang ibu yang tak ingin kehilangan anaknya. Senakal apa pun anak tersebut, ia adalah bagian dari darah daging dan hidupnya. Sehingga yang terucap dari lisan bukan sumpah serapah, tetapi doa dan harapan untuk kebaikan anaknya.
Jika pun guru akhirnya harus memberikan sanksi, maka sanksi tersebut adalah sebuah konsekuensi yang sudah disepakati dan diketahui peserta didik. Bahwa ketika peserta didik melakukan pelanggaran tertentu, inilah sanksi yang akan mereka terima nanti. Karenanya, ketika ada pelanggaran yang mereka lakukan dan harus menerima sanksi, mereka menerimanya dengan penuh kesadaran tanpa harus membela diri dan mengumbar kekesalan.
Bagi guru yang bijak, sanksi kepada peserta didik bukanlah eksekusi atas kesalahan, tetapi pendidikan yang mengajarkan tanggung jawab dan menerima konsekuensi atas sikap yang dilakukan. Oleh karenanya, guru bijak tidak memberikan sanksi dengan emosi dan kekesalan, tetapi dengan tetap menghadirkan hati yang bersih dan diksi yang baik. Dari sikap bijak seperti itu, tidak sedikit peserta didik yang dulu dikenal nakal, mereka masih terkenang sikap bijak gurunya. Sikap yang menjadi wasilah perubahan baik bagi dirinya.
Di era ketika kehormatan guru sering kali ternodai dan hak-hak mereka kurang terpenuhi, kita tetap optimis para guru dapat mendidik dengan baik. Mereka dapat menjadi teladan mulia bagi peserta didiknya. Semoga kurangnya perhatian dan penghormatan bagi mereka tidak mengurangi profesionalitas dalam mengabdi, tetap bijaksana dalam memberikan sanksi, serta tenang dan istikamah dalam berbagai situasi.
[1]Faisal Mohay, Fakta Santri Bunuh Ustazah di Palangkaraya: Kondisi Kejiwaan Normal, Pelaku Tak Ditahan, https://m.tribunnews.com/amp/regional/2024/05/18/fakta-santri-bunuh-ustazah-di-palangkaraya-kondisi-kejiwaan-normal-pelaku-tak-ditahan?page=2, 21 Mei 2024
[2] Zaiful Rosyid, Reward dan Punishment, (Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi, 2018), halaman 8.
[3] Anita Woolfolk, Educational Psychology Active Learning Edition, Terj: Helly Prajitno S. & Sri Mulyantini S., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), halaman 311.