Merawat Kesalehan Sosial

Merawat Kesalehan Sosial

“Allah akan senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Sebuah panggilan WhatsApp masuk ke smartphone Salim, tetapi tidak sempat terangkat. Tidak lama kemudian ia mengeceknya dan menemukan deretan pesan WhatsApp masuk dari pemilik nomor yang tidak asing baginya, seorang wanita yang merupakan teman lama SMP dahulu.

“Assalamualaikum. Kang, ini Wati ….”

“Maaf mengganggu waktunya.”

“Sebetulnya saya malu, hanya saja ini lagi coba ikhtiar.”

“Barangkali bisa pinjam uang untuk sepekan ke depan. Ada yang harus dibayar hari ini, sudah mentok banget ….”

Pesan beruntun itu langsung menyampaikan tujuannya. Salim merespons pesan tersebut dan coba menanyakan jumlah uang yang dibutuhkan. Ia tahu bahwa Wati masih menjalani usaha jual sandal dan sepatu di daerahnya. Bisa jadi ia butuh untuk membayar supplier yang memasok barang ke lapaknya.

Dari penuturannya, belakangan ini mayoritas pedagang termasuk dirinya sangat merasakan kondisi perekonomian yang semakin tidak menentu. Stok barang menumpuk, tetapi penjualan sangat kurang. Entah daya beli masyarakat yang juga menurun, atau karena pola belanja masyarakat yang banyak beralih ke online marketplace.

“Untuk uang sejumlah itu, mohon maaf saya belum bisa bantu, teh …,” respon Salim, “kalau untuk sekitar Rp500.000.00, mungkin saya bisa usahakan, insyaallah, tetapi itu pun saya harus musyawarah dan izin dulu ke istri.”

Salim tidak mau gegabah memutuskan memberi pinjaman, terlebih kepada wanita yang bukan keluarga dan kerabat dekatnya.

“Dik …, teh Wati yang dulu kita ketemu saat pulang kampung, tadi kirim pesan WhatsApp ke akang. Ia mau pinjam uang untuk bayar tagihan barang hari ini,” Salim membuka obrolan dengan istrinya, “apakah memungkinkan kita memberi pinjaman kepadanya?”

“Oh …, teh Wati yang dulu kita ketemu depan masjid itu, Kang?”  Istri Salim memastikan.

“Benar, Dik …,” ujar Salim singkat, “kalau ada alokasi keuangan yang bisa kita pinjamkan, kita bantu teh Wati dulu, kasihan dia.”

“Sebetulnya ada uang sekitar Rp500.000,00, alokasi untuk kebutuhan nengok Ibu pekan depan seperti yang kita rencanakan. Kalau teh Wati bisa mengembalikan dalam sepekan ke depan, kita bisa pinjamkan padanya, insyaallah.” Ujar istri Salim memberi harapan.

Setelah mendapatkan izin istrinya, Salim mentrasfer sejumlah dana kepada Wati pada hari itu juga. Setelah sepekan berlalu, sesuai kesepakatan awal, Wati menepati janjinya untuk mengembalikan pinjaman tersebut tepat waktu. Wati menyampaikan terima kasih kepada Salim dan keluarga yang sudah membantunya.

Perekonomian keluarga Salim sebetulnya terbilang biasa-biasa saja. Ia bersyukur masih dapat bekerja dan mendapat penghasilan untuk menafkahi keluarga serta sedikit berbagi dengan orang tua dan saudara. Pendapatannya seringkali habis untuk menutupi kebutuhan rutin bulanan. Kendati demikian, ada saja orang-orang yang sering minta bantuan dan pinjaman uang kepadanya.

“Kang, punten, bisa pinjam dulu uang Rp250.000,00? Saya mau ngirim sedikit ke Ibu untuk persiapan puasa, terlebih ia lagi sakit.” Pinta Rudi pada Salim di ruang kerjanya menjelang Ramadan kemarin. Rudi merupakan salah satu teman dekat Salim di tempatnya bekerja.

“Sebentar ya, saya coba cek keuangan keluarga dulu. Kalau memungkinkan, nanti saya transfer sore, insyaallah.” Salim menjawab diplomatis, tidak enak kalau langsung menolak begitu saja. Walaupun sebetulnya ia sendiri banyak kebutuhan keluarga untuk menghadapi Ramadan yang akan segera tiba.

“Kang Rudi, saya sudah transfer Rp250.000,00 ya ….” Pesan Salim pada Rudi via WhatsApp. Salim tidak tega membiarkan Rudi mengecewakan ibunya terlebih ia sedang sakit. Ia berharap mendapat keberkahan dan kebahagiaan seiring kebahagiaan orang-orang yang menyambut Ramadan mulia.

Masih di bulan yang sama, Allah Swt. kembali memberi kesempatan ladang pahala sekaligus ujian keimanan bagi Salim dan keluarga. Apakah dirinya masih benar-benar yakin dengan janji Allah Swt. dan pahala dari-Nya?

Sebuah pesan WhatsApp dari Wati kembali mendarat, menyampaikan permohonannya untuk kembali mendapat pinjaman uang. Beberapa kiriman barang datang bersamaan dan harus segera ia bayar. Masalahnya adalah ini penghujung bulan. Semua alokasi keuangan keluarga Salim hampir terserap semua. Namun, setelah diskusi dengan istrinya, alhamdulillah ada sejumlah uang yang bisa ia pinjamkan kembali ke Wati.

Salim mencoba dan belajar peduli pada sesama, kendati rezeki yang dititipkan padanya tidak seberapa jika dibandingkan harta istana. Namun, dari sanalah Salim dan keluarga belajar meniti tangga takwa melalui empati. Ia berharap hal itu dapat menyempurnakan kesungguhannya dalam menempa diri menjadi pribadi yang tidak hanya saleh secara pribadi namun juga bermanfaat bagi sesama.

***

Islam mendorong setiap pemeluknya untuk tidak saja saleh secara individu, tetapi juga saleh secara sosial. Hal itu tercermin dari banyaknya ayat maupun hadis yang menjadi landasan amal sosial tersebut. Islam sebagai agama senantiasa memberikan keseimbangan kepentingan individu dan sosial.[1] Perhatian Islam terhadap masalah sosial ini sekaligus menjadi karakteristik dan kekhasan agama Islam itu sendiri, yakni sebagai agama yang penuh kasih sayang bagi semesta.

Akan tetapi, dalam implementasinya memang tidak semudah mengutarakannya. Sisi manusiawi yang selalu ingin lengket pada materi, sering kali membuat hati kita berat untuk memberi perhatian dan bantuan. Belum lagi jika ragam alasan untuk tidak peduli hadir menguatkan. Seakan diri kita sendiri masih butuh bantuan dan belum pantas untuk memberi.

Kesadaran diri untuk mau membantu sesama tidak hadir begitu saja. Ia tumbuh dari kesadaran dan keyakinan kuat yang menggerakkan diri untuk berbuat dan bermanfaat bagi orang lain. Kesadaran tersebut setidaknya pada dua hal. Pertama, pengakuan diri sebagai makhluk sosial. Bahwa kita tidak dapat hidup sendirian yang suatu saat akan membutuhkan kehadiran serta bantuan dari sesama.

Kedua, hadirnya kesadaran spiritual untuk meraih kemuliaan dan kesempurnaan iman di hadapan Allah Swt. Karena keimanan seseorang belum dapat dikatakan sempurna hingga ia memberikan kasih sayang pada sesama sebagaimana pada dirinya. “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Motivasi spiritual memiliki persentase yang besar dalam membangkitkan kesalehan seseorang. Dengan motivasi tersebut, ia melihat bantuan bukan sebagai rasa kemanusiaan semata, tetapi juga sebagai implementasi amal saleh yang merupakan konsekuensi keimanannya kepada Allah Swt.

Jika sudah panggilan iman, ia berbagi bukan lagi karena sudah banyak harta. Bukan pula karena sudah tidak butuh pada materi. Namun, karena ia melihat kesempatan beramal di sana. Ia menemukan peluang kemuliaan yang lebih berharga dari apa yang ada di tangan. Seperti kisah Salim di atas. Kesediaannya untuk membantu adalah implementasi keimanan yang terus dijaga.

Kehidupan ini tidak pernah luput dari kebutuhan dan keinginan. Setiap orang berusaha menghadirkan kebahagiaan dengan memenuhi kebutuhan dirinya. Namun, ternyata ada juga orang-orang yang lebih bahagia dengan membantu dan membahagiakan sesamanya. Kebahagiaannya bukan terletak pada materi yang ia miliki, tetapi ada dalam kerelaan hati memberikan bantuan.

Di era modern yang semakin dimanjakan teknologi, kecenderungan orang untuk individualis semakin besar. Gawai misalnya, ia sudah seperti menyatu pada kehidupan. Semua masyarakat seakan sudah tidak bisa terlepas darinya.[2] Setiap orang dapat beraktivitas dan memenuhi kebutuhannya dari pojok ruangan sambil rebahan. Ia bisa mencari penghasilan dan memesan kebutuhan dari smartphone di genggaman. Walaupun tidak benar-benar 100% tanpa bantuan orang lain, kondisi tersebut dapat memicu lunturnya kesalehan sosial.

Karenanya, perlu upaya-upaya konkret untuk merawat kesalehan sosial kita. Agar diri kita dan bangsa ini tetap memiliki kepedulian dan kewarasan sosial. Sehingga kita tidak abai terhadap hak-hak orang lain yang harus kita tunaikan. Juga agar para pemimpin tidak lupa terhadap keadilan dan kesejahteraan yang menjadi hak rakyatnya. Karena dalam skala makro, lunturnya kesalehan sosial dapat memorak-porandakan sebuah bangsa.

Kesalehan sosial harus kita rawat dengan menjaga pemahaman dan keyakinan di atas, kemudian mewujudkannya dalam aksi nyata amal-amal sosial. Kita bisa mulai dari lingkungan terdekat tempat kita berada, kemudian membantu dan mencarikan solusi untuk masalah yang ada di sana. Bentuk bantuan pun bisa beragam. Bisa pikiran, tenaga, atau bahkan harta. Tentu sesuai dengan kemampuan yang bisa kita lakukan.

Kampanye saleh sosial ini dapat meluas dan tidak terbatas pada lingkup pemenuhan kebutuhan ekonomi saja. Semua area kehidupan yang di sana terdapat keterpurukan dan kesenjangan merupakan target amal sosial kita. Memasuki area yang luas ini tentu memiliki tantangan tersendiri. Karena permasalahan semakin kompleks, sehingga butuh birokrasi dan regulasi lembaga yang menaungi.

Jika kesalehan sosial sudah menjadi life style yang menyatu dalam kehidupan, kita berharap ketimpangan sosial, keserakahan dan ketidakteraturan dapat berkurang bahkan hilang. Sehingga orang tidak akan lagi buang sampah sembarangan karena peduli lingkungan sehat. Seorang ibu sepuh tidak harus lagi mengemis di jalanan karena ada kita yang ikut memperhatikan. Juga pejabat tidak mau korupsi lagi karena sayang dan peduli pada kesejahteraan rakyatnya.

***

Jendela inspirasi:

  1. Bahagia dengan memberi, mulia dengan bantu sesama.
  2. Kesalehan sosial merupakan keluhuran akhlak dan ciri kesempurnaan iman.
  3. Jangan tunggu ideal untuk beramal. Kita bisa memulai sesuai kemampuan yang ada.

[1] Hj. Suredah, Kesalehan Ritual, Sosial, Dan Spiritual, Vol. 7, Istiqra’, 2020, Hal. 7.

[2] Ana Muttabiah, Ela Suryani, Anni Malihatul Hawa, Dampak Penggunaan Gadget Terhadap Interaksi Sosial Peserta Didik, Vol. 4, Janacitta, 2021, Hal. 2.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *